Pandemi: Ajang Pembuktian, atau Ladang Basah?
- Lingkar Mahasiswa Kebumen
- Aug 30, 2021
- 5 min read
Oleh : Donita Siska Avrillia Lestari, Febri Susanto Putra

Pada awal Maret 2020, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) mencatat bahwa 1.155 warga negara Indonesia telah terinveksi virus covid-19 dengan uraian 102 pasien meninggal dan 59 pasien berhasil sembuh. Penambahan kasus akif terus terjadi, bahkan hingga hari ini. Menanggapi hal ini, pemerintah bersama Satuan Tugas Penanganan Covid-19 terus berupaya mencari solusi terbaik untuk menanggulangi penyebaran virus ini. Beberapa kebijakan yang diterapkan pemerintah antara lain adalah social distancing, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), bahkan sampai Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4. Akibat dari diterapkannya kebijakan tersebut oleh pemerintah, berdampak langsung kepada kegiatan ekonomi masyarakat.. Banyak pekerja kantoran yang akhirnya dialihkan untuk bekerja dari rumah (work from home), bahkan tidak sedikit perusahaan yang memilih untuk merumahkan pekerjanya demi menghindari kerugian. Ketika banyak karyawan yang dirumahkan, tentu saja berdampak langsung pada pendapatan per kapita masyarakat Indonesia, selain itu pertumbuhan ekonomi Indonesia juga mengalami penurunan sebesar 2,07%.
Untuk menjaga perekonomian masyarakat serta menjamin kebutuhan primer masyarakat terpenuhi, pemerintah menetapkan kebijakan bantuan sosial bagi masyarakat terdampak covid-19. Sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan bagi masyarakat yang terdampak Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), perlu memberikan bantuan sosial sembako dan bantuan sosial tunai. Bantuan ini diperuntukan untuk masyarakat baik untuk kelompok maupun individu. Dikutip dari hasil wawancara tim detik.com (6/12/2020), Prastowo mengungkapkan jika dana bansos berasal dari RAPBN dan RAPBD. RAPBN sendiri menyumbang sebanyak 204,9 triliun.
Dana tersebut dibagi untuk 6 bantuan, yaitu :
a. Program Keluarga Harapan (PKH), 36,713 triliun.
b. Program Kartu Sembako, 42,59 triliun.
c. Program Sembako Jabodetabek, 32,4 triliun.
d. Bansos Tunai Non Jabodetabek, 6,49 triliun.
e. Program beras untuk penerima PKH, 4,5 triliun.
f. Program beras untuk penerima kartu sembako, 4,5 triliun.
Untuk mengatur distribusi dari bantuan sosial ini, pemerintah sudah membuat kriteria khusus bagi masyarakat yang berhak menerima bantuan sosial. Hal ini sesuai dengan pasal 34 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berbunyi: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos RI) juga telah mengatur sedemikian rinci di dalam Peraturan Kementerian Sosial nomor 146/HUK/2013 yang berisi tentang aturan penetapan kriteria dan pendataan fakir miskin dan orang tidak mampu. Selain kriteria di atas, masyarakat yang terkena PHK dan tidak bisa memenuhi kehidupan sehari-hari juga berhak mendapatkan bansos.
Selain bantuan dalam bidang ekonomi, pemerintah juga memberikan bantuan kesehatan berupa subsidi vaksin covid-19. Hal ini dilandasi oleh Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi. Vaksin tersebut bersifat gratis dengan sasaran utama masyarakat yang bekerja di sektor kritis. Misalnya, tenaga kesehatan adalah orang yang diutamakan mendapat suntikan vaksin, kemudian aparat keamanan juga mendapat prioritas untuk divaksin. Sedangkan untuk masyarakat umum, harus menunggu terlebih dahulu subsidi vaksin dari pemerintah, biasanya melalui fasilitas kesehatan daerah. Kebijakan vaksinasi bersifat wajib untuk masyarakat yang didata sebagai penerima bantuan sosial, bahkan apabila masyarakat yang didata menerima bantuan sosial tetapi menolak mengikuti vaksinasi, maka akibatnya bantuan sosial itu akan ditunda. hal ini diatur dalam pasal 13A dan 13B Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021.
Setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima Vaksin Covid-19 yang tidak mengikuti Vaksinasi Covid-19 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif, berupa: a. penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial; b. penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan; dan/atau c. denda. Adapun, pengenaan sanksi administratif tersebut dilakukan oleh kementerian, lembaga, pemerintah daerah, atau badan sesuai dengan kewenangannya. Lebih lanjut pasal 13B juga menyebut bahwa Setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima Vaksin Covid-19, yang tidak mengikuti vaksinasi Covid19 sebagaimana dimaksud dalam pasal 13A ayat (2) dan menyebabkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan penyebaran Covid-19, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 13A ayat (a).
Menanggapi program vaksinasi yang dilakukan pemerintah pusat, beberapa kepala daerah membuat aturan wajib memiliki sertifikat vaksinasi sebagai syarat pencairan bantuan sosial. Hal itu dilakukan untuk mengoptimalkan program vaksinasi bagi masyarakat umum. Alasan utama beberapa kepala daerah menerapkan syarat sertifikat vaksinasi untuk pencairan bansos yaitu agar program vaksinasi ini dapat terlaksana dengan baik. Di sisi lain, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan jika sertifikat vaksinasi hanya bisa digunakan untuk masyarakat yang bepergian ke tempat umum, bukan syarat wajib untuk pencairan bansos. Beliau juga menambahkan jika semua kegiatan yang sifatnya kemanusiaan tidak boleh dikaitkan dengan persyaratan vaksin, bansos untuk menyambung hidup. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apabila syarat utama menerima bantuan sosial adalah telah mendapat minimal suntikan vaksin dosis 1, mengapa pemerintah terkesan belum optimal dalam melakukan distribusi vaksin? banyak daerah 3T, misalnya wilayah Papua Barat yang masih kekurangan jatah vaksin dari pemerintah pusat.
Bukan hanya program vaksinasi yang masih menuai banyak persoalan, program penyaluran bantuan sosial pun terbilang tidak wajar. Misalnya saja paket sembako yang terkesan tidak sesuai kriteria, distribusi yang terlambat, hingga yang terbaru adalah beras bantuan sosial yang tidak layak konsumsi karena sudah menggumpal seperti batu. Permasalahan ini tidak terlepas dari tertangkapnya menteri sosial, Juliari Batubara dalam Operasi Tangkap Tangan KPK pada awal bulan Desember 2020 dengan dugaan telah melakukan korupsi dana bantuan sosial sebesar 17 miliar yang seharusnya digunakan untuk paket sembako. Selain itu, ada beberapa pihak yang ditetapkan sebagai tersangka seperti Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono selaku pejabat pembuat komitmen di Kementerian Sosial, serta Ardian I M dan Harry Sidabuke selaku pihak swasta juga turut ditetapkan sebagai tersangka. Mantan mensos resmi ditahan KPK pada Minggu, 6 Desember 2020, beliau ditahan di Rumah Tahanan Negara KPK Cabang Pomdam Jaya Guntur selama 20 hari. Pada Agustus 2021 majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memvonis Juliari dengan 12 tahun penjara dan denda 500 juta. Majelis hakim menilai Juliari terbuktimelanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001. Selain itu, majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sejumlah 14,59 miliar, jika tidak diganti, maka pihak terkait akan mendapat pidana penjara tambahan selama 2 tahun. Hak politik beliau juga dicabut selama 4 tahun. Namun, kabar terbaru memberitakan jika majelis hakim sedikit berempati terhadap mantan mensos tersebut karena dinilai sudah menderita karena cacian dan hinaan masyarakat. Hal ini dinilai tidak masuk akal dan menuai banyak kontroversi dari berbagai pihak.
Tentunya kejadian ini membuat kita bertanya, sebenarnya pemerintah, dalam hal ini Kementerian Sosial, memang benarbenar ingin membantu meringankan beban masyarakat, atau justru mencari ladang basah di tengah situasi pandemi yang kian parah?
Daftar Pustaka
Anjani Nur Permatasari. “Diberi Keringanan Hukuman karena Di-bully, Vonis 12 Tahun Juliari Menuai Polemik”. https://www.kompas.tv/article/204870/diberikeringanan-hukuman-karena-di-bully-vonis-12-tahun-juliari-menuai-polemik. (diakses pada 2021)
Hendra Kusuma. “ Dari Mana Sumber Dana Bansos Corona yang Dikorupsi Mensos Juliari?”. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5283936/darimana-sumber-dana-bansos-corona-yang-dikorupsi-mensos-juliari. ( diakses pada 24 Agustus 2021).
Moh Idris . “ Benarkah Penolak Vaksin Dilarang Terima Bansos hingga Bikin SIM?”. https://money.kompas.com/read/2021/06/26/102840726/benarkahpenolak-vaksin-dilarang-terima-bansos-hingga-bikin-sim?page=all. ( diakses pada 28 Agustus 2021)
Monica Wareza. “Vaksin Covid-19 Ditemukan, Siapa yang Berhak Dapat Duluan?”.https://www.cnbcindonesia.com/news/20200802210321-4 176966/vaksin-covid-19-ditemukan-siapa-yang-berhak-dapat-duluan. ( diakses pada 25 Agustus 2021).
PPDI Bandung. Subjek / Kriteria Penerima Bantuan Sosial. Bandung, https://ppid.bandungkab.go.id/image/document/dinas-sosial-program-bantuansosial.pdf. (diakses pada 25 Agustus 2021)
Satuan Tugas Penanganan Covid-19. “Analisis Data Covid-19 Indonesia ( Update Per 31 Januari). https://covid19.go.id/p/berita/analisis-data-covid-19-indonesiaupdate-31-januari-2021. (diakses pada 24 Agustus 2021).
Tim detikcom. “Kronologi KPK OTT Pejabat Kemensos hingga Menteri Sosial Serahkan Diri”. https://news.detik.com/berita/d-5283452/kronologi-kpk-ottpejabat-kemensos-hingga-menteri-sosial-serahkan-diri?single=1. (diakses pada 28 Agustus 2021)
Comments